Nilai rubel Rusia sedang jatuh bebas, anjlok hingga mendekati 100 per dolar AS, tetapi Kremlin tampaknya tidak terganggu oleh jatuhnya mata uang tersebut. Tidak seperti di masa lalu, ketika penurunan seperti itu akan memicu kepanikan, pejabat Rusia tampaknya puas membiarkan rubel melemah—langkah strategis yang terkait dengan manfaat anggaran negara di tengah meningkatnya belanja pemerintah.

Mengapa Rusia Membiarkan Rubel Jatuh?

Dua sumber yang dekat dengan pemerintah Rusia mengungkapkan bahwa rubel yang lebih lemah meningkatkan pendapatan anggaran dengan meningkatkan nilai rubel dari pendapatan ekspor, yang penting karena Kremlin bersiap untuk memperluas pengeluaran militer tahun depan. Penurunan ini juga sejalan dengan pergeseran Rusia dari mata uang tradisional Barat, karena Bursa Moskow menghentikan perdagangan dolar dan euro di tengah sanksi.

Dampak Riak pada Yuan dan Eksportir

Depresiasi rubel tidak hanya terjadi terhadap dolar—tetapi juga turun 11% terhadap yuan Tiongkok, mata uang asing pilihan Rusia sejak sanksi Barat mulai berlaku. Dengan lebih sedikit transaksi dolar, Rusia beralih ke negara-negara BRICS dan yuan untuk penyelesaian internasional. Namun, kekurangan mata uang asing terus berlanjut, diperparah oleh hambatan pembayaran karena eksportir Rusia menghadapi kesulitan yang semakin besar dalam mengelola transaksi lintas batas.

Eksportir berada di bawah tekanan karena ketersediaan yuan menyusut. Banyak perusahaan melaporkan proses manual untuk mengelola pembayaran, sering kali menunggu lebih dari sebulan untuk persetujuan, hanya untuk menghadapi risiko penolakan. Tantangan likuiditas ini menekan arus kas dan menambah biaya pinjaman yang sekarang melebihi 20%.

Inflasi dan Suku Bunga yang Lebih Tinggi Mengintai

Bank sentral Rusia telah mengambil tindakan drastis di masa lalu untuk menstabilkan rubel, menaikkan suku bunga hingga 20%, tetapi langkah-langkah tersebut kini tampaknya tidak cukup. Dengan inflasi yang melonjak hingga lebih dari dua kali lipat target bank sentral sebesar 4%, suku bunga diperkirakan akan segera naik lagi, yang selanjutnya membebani bisnis yang berjuang dengan meningkatnya biaya dan pembayaran yang tidak dapat diprediksi.

Apa Tujuan Akhir Putin?

Presiden Vladimir Putin mengambil langkah berani untuk mengurangi ketergantungan Rusia pada dolar, dengan mengisyaratkan pengembangan sistem pembayaran berbasis BRICS—yang mungkin didukung oleh blockchain. Selama pertemuan Dewan Keamanan baru-baru ini, Putin mengakui masalah pembayaran lintas batas sebagai tantangan serius. Rubel semakin banyak digunakan untuk perdagangan, dan pemerintah baru-baru ini mengurangi penjualan mata uang wajib oleh eksportir untuk mengurangi tekanan pada perusahaan.

Namun, strategi ini mengandung risiko. Melemahnya rubel membuat perusahaan kesulitan mengelola pembayaran, dan taruhan Rusia pada mata uang alternatif seperti yuan membuat ekonomi rentan terhadap kerentanan baru.

Hal yang Perlu Diperhatikan Para Pedagang

Keputusan Rusia untuk membiarkan rubel merosot mencerminkan keuntungan jangka pendek tetapi risiko jangka panjang. Bagi para pedagang, perubahan ini memberikan wawasan tentang potensi pergerakan di pasar energi, terutama dengan meningkatnya pengeluaran militer yang dikaitkan dengan nilai rubel. Memantau keputusan bank sentral Rusia dan likuiditas yuan akan menjadi indikator utama turbulensi ekonomi lebih lanjut. Ketika sanksi semakin parah, para pelaku bisnis dan investor sama-sama dihadapkan pada jaringan risiko geopolitik dan manuver keuangan yang rumit.

Tetaplah waspada—perjudian Rusia dengan rubel dapat menimbulkan konsekuensi yang luas di luar batas wilayahnya.

#TrumpDeFi #MemeCoinTrending #GrayscaleConsiders35Cryptos #USStockEarningsSeason #BTCUptober