Seorang pria Amerika, Victor Miller, membuat heboh ketika dia melamar untuk mencalonkan diri sebagai chatbot AI bernama VIC (Virtual Integrated Citizen) untuk posisi Walikota kota Cheyenne, Wyoming. Miller menegaskan bahwa VIC, yang didukung oleh teknologi OpenAI, akan membuat semua keputusan politik dan menjalankan kota lebih baik daripada manusia.

Namun, ide berani ini mendapat reaksi keras dari OpenAI. Perusahaan dengan cepat menonaktifkan akses Miller ke alat operasi VIC, dengan alasan pelanggaran kebijakan penggunaan teknologi untuk tujuan politik.

Victor Miller membuat heboh dengan ide menjalankan chatbot AI untuk posisi Walikota

Insiden ini menunjukkan bahwa AI menciptakan tantangan baru bagi politik modern. Seiring dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, regulator, dunia usaha, dan konsumen masih mencari cara untuk menggunakan AI secara bertanggung jawab dan sesuai dengan kerangka hukum.

Miller mengatakan dia menciptakan VIC karena dia pernah ditolak catatan kotanya karena permintaan untuk tetap anonim. Ia yakin AI dapat membantu mengatasi masalah ini. Namun, banyak ahli berpendapat bahwa mempercayakan kekuasaan politik kepada AI adalah hal yang tidak realistis dan berpotensi berisiko.

Profesor Jen Golbeck dari Universitas Maryland menegaskan bahwa AI harus digunakan sebagai alat pendukung keputusan, bukan untuk mengambil keputusan sendiri. Dia khawatir AI dapat memanipulasi opini publik, menyebarkan informasi palsu, dan menyebabkan ketidakstabilan sosial. Sementara Profesor David Karpf dari George Washington University berpendapat bahwa partisipasi AI dalam politik hanyalah sebuah "trik" untuk menarik perhatian.

Meski begitu, Miller tetap teguh pada tujuannya. Ia berencana membawa VIC ke perpustakaan setempat di Cheyenne agar para pemilih dapat mengajukan pertanyaan tentang chatbot ini.

Selain Miller, OpenAI juga mengambil tindakan terhadap kandidat lain di Inggris yang menggunakan AI untuk berkampanye. Steve Endacott, presiden perusahaan AI bernama Neural Voice, menjawab pertanyaan pemilih melalui AI Steve, sebuah chatbot di situsnya. Dia berlari secara mandiri.

Peristiwa ini memicu perdebatan tentang peran AI dalam kehidupan politik. Bisakah chatbots menjadi kandidat cemerlang di masa depan? Bisakah AI menggantikan manusia dalam menjalankan negara?

Apa pun hasilnya, peristiwa ini merupakan peringatan bahwa AI semakin merambah ke setiap sudut kehidupan, sehingga menimbulkan tantangan baru bagi para pembuat kebijakan, pakar teknologi, dan seluruh masyarakat dunia. Menemukan keseimbangan antara manfaat dan risiko AI sangat penting untuk memastikan teknologi tersebut digunakan secara bertanggung jawab dan efektif.