Baru-baru ini, kami bertemu dengan seorang pelanggan yang berinvestasi dalam mata uang virtual - kami menyebutnya A, yang kehilangan minat dalam transaksi OTC. Situasi ini sudah tidak asing lagi bagi banyak investor mata uang kripto. Kasus A sangat unik, jadi mari kita analisis secara mendetail.
01 Ikhtisar Kasus
A dan seorang kenalan - sebut saja B - melakukan transaksi mata uang virtual (khususnya USDT, disebut "U"). Proses transaksinya adalah: A pertama mentransfer uang ke B, yang setara dengan melakukan pemesanan; B membeli U setelah menerima uang dan mentransfernya ke A untuk menyelesaikan transaksi.
Namun setelah A membayar B, B tidak mentransfer U ke A tepat waktu. B mengaku rekeningnya dibekukan dan tidak bisa mentransfer dana. Situasi ini berlangsung selama dua bulan. Pada akhirnya, Orang A memilih untuk menelepon polisi dan menyerahkan detail obrolan dan catatan transfer. Polisi menerima kasus tersebut, namun akhirnya memberi tahu Orang A bahwa ini adalah kasus perdata dan bukan merupakan penipuan pidana.
02 Sengketa terkait mata uang: pidana atau perdata?
Apakah situasi X merupakan kasus penipuan pidana atau sengketa perdata tergantung pada beberapa faktor. Pertama-tama, badan keamanan publik di banyak tempat tidak mengakui atribut properti mata uang virtual. Kedua, jika B mencoba membeli U dan akunnya memang dibekukan, dan tidak ada penipuan berikutnya, maka kasus tersebut tidak dapat dianggap sebagai penipuan kriminal.
Namun, jika otoritas keamanan publik di tempat terjadinya kejahatan mengakui atribut properti mata uang virtual, atau B memiliki tujuan untuk memiliki setelah mendapatkan uang tersebut, maka hal ini dapat menjadi kasus pidana. Namun hal ini perlu dinilai berdasarkan keadaan khusus dan peraturan hukum daerah.
03 Nasihat pengacara
Untuk kasus-kasus seperti ini, jika jalur pidana tidak dapat menyelesaikan permasalahannya, kami merekomendasikan untuk mencoba litigasi perdata. Meskipun pengadilan setempat mempunyai pandangan berbeda mengenai transaksi mata uang virtual, cara perdata masih merupakan cara yang efektif untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Misalnya, A dapat mengajukan gugatan perdata untuk mendapatkan kembali uang yang telah dibayarkannya kepada B, terutama jika jumlahnya mencukupi
Ketika bukti menunjukkan bahwa B gagal melaksanakan kewajiban kontraktualnya. Selain itu, Pihak A juga dapat menuntut ganti rugi atas kerugian yang timbul akibat keterlambatan atau pembatalan transaksi.
Kompleksitas hukum transaksi mata uang virtual masih dalam tahap pengembangan, sehingga ketika melakukan transaksi tersebut, disarankan agar kedua belah pihak membuat perjanjian yang jelas dan memastikan bahwa transaksi tersebut dilakukan melalui platform perdagangan yang andal. Selain itu, penilaian risiko menyeluruh harus dilakukan sebelum perdagangan dan potensi konsekuensi hukum harus dipertimbangkan.
Terakhir, kami mengingatkan semua investor mata uang virtual, baik pidana maupun perdata, melindungi keamanan properti mereka selalu menjadi hal yang paling penting. Dalam transaksi yang melibatkan dana, hendaknya selalu waspada dan mencari nasihat hukum profesional bila diperlukan. Ingat, anonimitas dan ketidakpastian pasar mata uang kripto menjadikannya area investasi berisiko tinggi. Selalu bersiap dan teliti sepenuhnya sebelum melakukan perdagangan.
Sumber: https://www.zhucebian.com/?zixun/276.html