Pembantaian Kerbau yang Tak Henti-Hentinya: Bab Tragis dalam Sejarah Amerika
Pada paruh kedua abad ke-19, dataran Amerika menyaksikan salah satu episode paling dahsyat dalam sejarah lingkungan dan budaya: hampir punahnya kerbau, atau bison Amerika. Dulunya berjumlah puluhan juta, hewan-hewan agung ini dibantai dalam jumlah besar, terutama untuk diambil kulitnya, meninggalkan kenangan suram tentang keserakahan manusia dan kehancuran yang menimpa masyarakat adat dan ekosistem.
Kerbau Suci dan Kehidupan Penduduk Asli Amerika
Bagi banyak suku asli Amerika, khususnya suku-suku di Great Plains, kerbau lebih dari sekadar sumber makanan. Kerbau dianggap sakral, melambangkan kehidupan, kelimpahan, dan hubungan spiritual dengan tanah. Kerbau menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal, dan peralatan, yang menjadi dasar cara hidup mereka. Penghancuran kawanan ternak ini pada akhirnya akan menyebabkan runtuhnya kemandirian budaya dan ekonomi suku-suku di Plains.
Permintaan Industri: Awal Mula Pembantaian Kerbau
Pada tahun 1870-an, perluasan pesat pemukim Eropa di Amerika Barat, dikombinasikan dengan pembangunan rel kereta api, menyebabkan peningkatan permintaan kulit kerbau. Pantai Timur, dengan industri dan pasarnya yang berkembang, menjadi konsumen utama jubah kerbau, yang digunakan untuk mantel, permadani, dan barang-barang kulit industri.
Para pemburu berbondong-bondong pergi ke barat, ingin sekali memanfaatkan pasar kulit yang menguntungkan. Kulit kerbau dijual sekitar $3,50 per buah, harga yang menggiurkan yang memicu perburuan hewan-hewan ini tanpa henti. Namun, dagingnya, yang terlalu mahal untuk diangkut, dibiarkan membusuk di dataran. Praktik pemborosan ini mencerminkan fokus pada keuntungan daripada keberlanjutan, dan pemandangan bangkai kerbau yang tak terhitung jumlahnya berserakan di dataran menjadi hal yang biasa.
Berburu dari Jendela Kereta: Simbol Tertinggi dari Kelebihan
Saat rel kereta api membentang ke arah barat, tren yang aneh dan mengganggu muncul: penumpang kereta api akan membeli tiket untuk mendapatkan kesempatan berburu kerbau dari jendela mereka saat mereka bepergian melintasi negara. "Perburuan" ini tidak memerlukan keterampilan atau usaha, dengan penumpang yang dengan santai menembaki hewan-hewan tersebut saat kereta api bergerak melalui jantung wilayah kerbau. Hasilnya adalah pembantaian tanpa pandang bulu terhadap makhluk-makhluk ini, banyak di antaranya dibiarkan mati di tempat mereka jatuh.
Frank H. Mayer, seorang pemburu kerbau dari tahun 1870-1880-an, memberikan laporan langsung tentang dampak pembantaian massal ini. Merenungkan tahun-tahun perburuan tanpa henti, ia berkata, “Beberapa tahun sebelumnya, melihat 5.000, 10.000 kerbau dalam perjalanan sehari bukanlah hal yang luar biasa. Sekarang, jika saya melihat 50, saya beruntung. Saat ini, yang saya lihat hanyalah bangkai merah yang membusuk atau tulang-tulang putih yang memutih. Kami telah membunuh angsa emas.”
Konsekuensi Ekologis dan Budaya
Pada akhir tahun 1880-an, kawanan kerbau yang dulunya sangat banyak jumlahnya telah berkurang hingga hanya tinggal ratusan. Lautan bangkai yang membusuk dan tulang-tulang yang memutih menggambarkan kehancuran lingkungan yang tak berujung. Ekosistem Dataran Besar, yang terkait erat dengan pola merumput dan migrasi bison, terganggu. Padang rumput yang tumbuh subur di bawah kehadiran bison berubah, dan banyak spesies yang bergantung pada bison untuk bertahan hidup juga mulai menurun.
Bagi suku Indian Amerika, hilangnya kerbau berarti lebih dari sekadar hilangnya sumber makanan. Itu adalah hilangnya ikatan suci, cara hidup, dan kemerdekaan mereka. Pemerintah AS, yang menyadari peran utama kerbau dalam kelangsungan hidup suku Indian di Dataran, mendorong pembantaian sebagai cara untuk memaksa penduduk asli pindah ke reservasi, sehingga semakin bergantung pada bantuan pemerintah dan menghapus perlawanan mereka terhadap perluasan wilayah ke arah barat.
Warisan Abadi dan Upaya Konservasi
Pembantaian kerbau masih menjadi contoh yang menghantui tentang konsekuensi dari ekspansi industri dan ekonomi yang tidak terkendali. Namun, pada akhir abad ke-19, dampak bencana pembantaian tersebut mulai menarik perhatian publik, dan upaya konservasi awal pun dimulai untuk menyelamatkan spesies tersebut dari kepunahan total.
Melalui kerja konservasionis, peternak, dan taman nasional seperti Yellowstone, populasi bison berangsur-angsur pulih. Meskipun tidak pernah mencapai jumlah besar seperti di masa lalu, bison kini menjadi simbol ketahanan. Kelangsungan hidup mereka merupakan bukti pentingnya konservasi dan pengingat kerusakan tak terelakkan yang dapat terjadi ketika keserakahan mengalahkan keberlanjutan.