Binance, bursa mata uang kripto terbesar di dunia, menghadapi tuduhan serius atas penyitaan aset mata uang kripto Palestina atas permintaan pemerintah Israel. Klaim ini diungkap oleh Ray Youssef, salah satu pendiri platform kripto P2P Paxful dan CEO platform P2P Noones. Pada tanggal 26 Agustus, Youssef menulis di X (sebelumnya Twitter) untuk menuduh bahwa Binance telah menyita dana dari warga Palestina atas perintah dari Pasukan Pertahanan Israel (IDF).
Youssef mengklaim bahwa Binance menyita semua dana Palestina dan menolak mengembalikannya, bahkan setelah banding diajukan. Ia memperingatkan bahwa ini bisa jadi hanya permulaan, dengan negara-negara lain seperti Lebanon dan Suriah berpotensi menghadapi tindakan serupa di masa mendatang. Pernyataan Youssef dilaporkan berdasarkan beberapa sumber, termasuk surat dari otoritas Israel yang diduga diteruskan oleh Binance. Ia menyatakan kekhawatiran bahwa langkah ini dapat menyebabkan penyitaan aset yang lebih luas di seluruh wilayah, dengan menekankan frasa, "Bukan kunci Anda, bukan koin Anda" untuk menyoroti pentingnya mengendalikan aset sendiri di dunia kripto.
Sebagai tanggapan, Binance membantah telah memblokir dana dari semua warga Palestina, dengan menyatakan bahwa hanya sejumlah kecil akun yang terkait dengan aktivitas terlarang yang dibatasi. Binance menekankan bahwa pihaknya mematuhi hukum sanksi internasional, sama seperti lembaga keuangan lainnya, dan bahwa akun yang terpengaruh terlibat dalam aktivitas ilegal, yang membenarkan pembatasan tersebut. Seorang juru bicara Binance mengklarifikasi bahwa tindakan ini sesuai dengan peraturan global dan menyatakan keinginan untuk perdamaian di kawasan tersebut, tetapi tidak memberikan perincian lebih lanjut tentang berapa banyak akun yang terlibat atau secara spesifik aktivitas terlarang tersebut.
Klaim Youssef merujuk pada surat dari Kementerian Pertahanan Israel, yang ditandatangani oleh Paul Landes dari Biro Nasional untuk Pendanaan Teror. Menurut Youssef, surat ini digunakan oleh Binance dalam tanggapannya kepada warga Palestina yang memohon agar dana mereka dikembalikan. Surat yang ditulis dalam bahasa Ibrani itu mengutip undang-undang antiterorisme Israel yang memberi wewenang kepada Menteri Pertahanan untuk menyita sementara properti, termasuk mata uang kripto, yang terkait dengan organisasi teroris. Surat itu membenarkan penyitaan aset dan dompet yang terkait dengan organisasi tersebut.
Kontroversi ini muncul di saat yang penuh tantangan bagi Binance, yang telah menghadapi pengawasan hukum dan peraturan di berbagai negara. Awal tahun ini, Binance dituntut di Amerika Serikat berdasarkan Undang-Undang Antiterorisme AS karena diduga memberikan "bantuan substansial" kepada teroris. Gugatan tersebut melibatkan korban serangan Hamas di Israel dan menuduh Binance memfasilitasi transaksi untuk organisasi teroris, yang menambah kesulitan hukum perusahaan.
Meskipun tuduhan ini serius, Binance bersikeras bahwa jumlah pengguna yang terkena dampak sangat sedikit dan tindakannya sesuai dengan hukum internasional. Akan tetapi, perusahaan tidak mengungkapkan secara pasti berapa banyak akun yang terkena dampak atau kapan pembatasan tersebut diterapkan.
Palestina mewakili sebagian kecil dari basis pengguna Binance, yang hanya mencakup 0,05% dari lalu lintas webnya selama setahun terakhir, menurut data dari SimilarWeb. Hal ini menempatkan pangsa lalu lintas Palestina sejajar dengan negara-negara seperti El Salvador dan Albania, yang masing-masing berkontribusi sekitar 0,06%, dan Malta, dengan sekitar 0,03%. Meskipun pangsa pasarnya kecil, lalu lintas web dari Palestina ke Binance melonjak lebih dari 80% sejak Agustus 2023, yang mencerminkan meningkatnya minat terhadap mata uang kripto di wilayah tersebut.
Singkatnya, tuduhan terhadap Binance atas penyitaan mata uang kripto Palestina telah menimbulkan kontroversi yang signifikan, menimbulkan pertanyaan tentang peran bursa tersebut dalam konflik geopolitik dan kepatuhannya terhadap hukum internasional. Sementara Binance telah membantah klaim yang lebih luas dan menekankan komitmennya terhadap standar hukum, situasi tersebut menyoroti tantangan yang dihadapi platform mata uang kripto global dalam menyeimbangkan teknologi, keuangan, dan peraturan internasional.